Mula-mula kita akan berpikir bahwa tentu saja malam hari gelap karena matahari tidak tampak. Namun kita tahu bahwa matahari hanyalah satu buah bintang, sementara terdapat jutaan, miliaran, bahkan triliunan bintang-bintang lain di semesta. Galaksi kita memiliki 200 miliar bintang, dan semesta berisi lebih dari 100 miliar galaksi. Sebagian besar di antara bintang-bintang itu memancarkan cahaya. Seharusnya cahaya dari semua bintang itu cukup untuk membuat langit tetap cerah di malam hari!
Beberapa ilmuwan sempat membayangkan bahwa mungkin ada debu-debu atau partikel-partikel di ruang hampa antar galaksi yang dengan cara tertentu akan menyerap cahaya. Namun hipotesis ini menghasilkan masalah baru. Jika debu-debu angkasa itu menyerap energi cahaya, energi itu akan tersimpan dalam jumlah yang makin besar, dan akan harus dipancarkan kembali dalam bentuk cahaya dan panas seperti bintang-bintang itu lagi.
Di abad ke-20, mulai ada penemuan-penemuan yang membuat kita lebih memahami semesta kita. Bintang-bintang yang jauh, biarpun berukuran energi yang sama, tampak lebih merah daripada bintang-bintang yang relatif lebih dekat. Ini cukup menarik. Kalau kita ingat spektrum cahaya, warna merah adalah warna dengan panjang gelombang terbesar. Memerahnya bintang-bitang yang jauh membuat para ilmuwan menduga bahwa bintang-bintang itu bukan hanya jauh, tetapi terus menjauh dari kita.
Coba ingat efek yang disebut efek Doppler. Pada saat sebuah mobil bergerak kencang mendekat ke arah kita, suara desisnya meninggi. Tetapi saat mobil itu telah melewati kita, dia akan menjauh, dan suara desisnya merendah. Panjang gelombang suara mobil yang mendekati kita memendek, dan panjang gelombang suara mobil yang menjauhi kita memanjang. Namun efek Doppler tidak hanya berlaku pada gelombang suara. Efek ini berlaku juga pada gelombang cahaya, jika gerak sumber-sumber cahayanya cukup tinggi. Lalu para ilmuwan mulai berdebat: mengapa bintang-bintang itu menjauhi kita? Debat panjang para fisikawan dan kosmolog ini menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang turut mewarnai revolusi fisika di abad ke-20.
Inti kesimpulannya: alam semesta kita tidak diam, melainkan mengembang. Karena semesta mengembang, maka galaksi-galaksi yang ada di dalamnya terus menjauh. Karena bintang-bintang saling menjauh, maka cahaya bintang-bintang itu memanjang saat melintasi ruang-ruang hampa antar bintang.
Namun jika alam semesta mengembang, maka artinya di zaman dahulu semesta ini berukuran lebih kecil daripada sekarang. Dan dari banyak kesimpulan ini kemudian ditarik kesimpulan besar: alam semesta ini pernah lahir dari satu titik saja, yang kemudian disebut dengan big bang.
Big bang bisa jadi cerita panjang dan menarik. Tapi kita sedang berfokus hanya pada langit malam yang gelap. Maka dari ulasan di atas, kita catat beberapa faktor yang membuat malam kita menjadi gelap (tetapi tetap indah):
- Semesta lahir dari satu titik, lalu mengembang. Maka ukuran semesta tidak tak terbatas. Maka jumlah bintang pun tidak tak terbatas. Cukup wajar bahwa cahayanya pun mungkin tak cukup untuk membuat kita silau 24 jam.
- Semesta kita masih terus mengembang. Sebagian besar bintang-bintang yang jauh, yang jumlahnya banyak sekali, mungkin cahayanya tidak pernah mencapai mata kita, karena jaraknya terus bertambah.
- Mengembangnya semesta membuat jarak antara kita dengan bintang-bintang yang jauh itu semakin jauh. Gerak menjauh dari bintang-bintang itu membuat cahayanya memanjang, memerah, lalu bergeser lebih jauh dari warna merah, yaitu gelombang yang bukan cahaya. Artinya kita tidak akan melihatnya sebagai cahaya.
Hanya dengan mencari faktor-faktor yang menyebabkan langit malam gelap, kita akhirnya dapat memahami sejarah semesta kita, bagaimana semesta dilahirkan, dan bagaimana semesta kita masih terus berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar